Langkah Remo di Atas Tanah Leluhur
Penulis: saadabdurrahman
Di sebuah desa kecil bernama Sambongdukuh, yang terletak di pinggiran Kabupaten Jombang, hidup seorang gadis bernama Raras Ayu Permata. Usianya baru menginjak tujuh belas tahun, namun langkah hidupnya terasa lebih dewasa dari umurnya. Ia dibesarkan oleh neneknya, Mak Sumirah, seorang penari Remo legendaris yang pernah menari di depan Presiden Soekarno puluhan tahun silam. Raras bukanlah gadis yang gemar berkesenian. Sejak kecil, ia lebih suka berdiam di pojokrumah, membaca buku-buku cerita atau menulis diari. Baginya, menari adalah dunia yang tak pernah menarik. Meskipun hampir setiap hari ia mendengar suara kendang, saron, dan bonang dari rumah sebelah—tempat sang nenek melatih anak-anak desa menari—Raras lebih memilih menyumbat telinganya dengan headset dan larut dalam musik modern.Suatu hari, kabar buruk datang. Mak Sumirah jatuh sakit. Dokter mendiagnosisnya mengidap penyakit jantung. Tubuhnya yang dulu tegap dan lincah kini terbaring lemah di tempat tidur, hanya mampu berkomunikasi dengan suara pelan dan tatapan mata penuh harap.
Suatu malam, ketika Raras duduk di samping ranjangnya, Mak Sumirah menggenggam tangan cucunya dan berkata pelan, “Raras, Nek hanya ingin satu hal sebelum menutup usia.
Tarian Remo ini... jangan sampai berhenti di aku. Nek ingin kamu yang teruskan.”Raras menunduk. Hatinya berkecamuk. “Tapi, Nek... aku tak bisa menari. Aku bukan penari.”
“Langkahmu bisa belajar,” bisik Mak Sumirah. “Yang penting hatimu mau menjaga pusaka
ini.” Raras tak menjawab. Setelah malam itu, ia sering termenung. Kata-kata sang nenek
terngiang-ngiang di benaknya. Ia tahu, Tari Remo bukan sekadar gerakan kaki atau goyangan tangan. Itu adalah warisan. Warisan darah, tanah, dan sejarah.
Beberapa hari kemudian, saat membersihkan gudang tua di rumahnya, Raras menemukan sebuah peti kayu jati. Di dalamnya terdapat selendang merah, kebaya hitam bersulam benang emas, dan sepasang gelang lonceng kaki. Ia juga menemukan foto hitam putih Mak Sumirah muda sedang menari Remo dengan ekspresi wajah yang penuh semangat. Raras terpaku menatap foto itu. Ada sesuatu dalam pandangan mata neneknya yang membuat hatinya bergetar. Seolah mata itu berkata, “Ayo, teruskan langkahku.” Sejak malam itu, Raras mulai belajar. Diam-diam, ia membuka YouTube, menonton tutorial
Tari Remo, membaca artikel, dan memutar ulang video pertunjukan Ludruk. Setiap malam, saat orang-orang tidur, ia menyelinap ke ruang belakang rumah, memutar gamelan dari ponsel, dan mencoba mengikuti gerakan penari.Awalnya, gerakannya kaku. Ia salah melangkah, terjatuh, bahkan pernah terkilir. Tapi ia terus mencoba. Ada kalanya ia menangis karena merasa gagal. Namun setiap kali menyerah, ia teringat wajah sang nenek dan kata-katanya, “Langkahmu bisa belajar.” Hingga tibalah saatnya. Desa Sambongdukuh mengadakan Pentas Budaya Tahunan dalam rangka Hari Kebudayaan Nasional. Kepala desa mengumumkan bahwa acara puncak akan ditutup dengan pertunjukan Tari Remo oleh “generasi baru.” Tanpa banyak bicara, Raras mendaftarkan diri.
Ketika hari itu tiba, langit sore menyala keemasan. Di lapangan desa, panggung bambu dihias
janur dan batik. Warga berbondong-bondong datang, termasuk Mak Sumirah yang dibantu duduk di kursi roda. Meski tubuhnya lemah, matanya menyala menantikan sesuatu. Raras berjalan ke belakang panggung. Jantungnya berdebar hebat. Ia mengenakan kostum kebesaran Mak Sumirah: kebaya hitam, jarik batik, dan selendang merah yang kini terasa berat karena sarat makna. Saat gamelan mulai dimainkan, langkah pertamanya ragu. Tapi ketika lonceng di kakinya berbunyi, sesuatu dalam dirinya bangkit. Ia mulai bergerak, menari, membiarkan irama mengalir lewat tubuhnya. Setiap gerakan kaki, setiap ayunan tangan, membawa kisah: tentang leluhur, tentang perjuangan, tentang tanah Jombang.
Penonton terpukau. Tak sedikit yang meneteskan air mata. Tapi yang paling haru adalah Mak
Sumirah. Di tengah suara gamelan, ia menggenggam tangan cucunya yang lain dan berkata
pelan, “Dia menari... seperti aku muda dulu.”
Tarian itu berakhir dengan tepuk tangan gemuruh. Raras membungkuk, tersenyum kecil, lalu
turun dari panggung. Ia langsung berlari ke arah neneknya.
“Nek...” katanya lirih. Mak Sumirah menatapnya,
mata berkaca-kaca. “Kamu sudah menjaga warisan ini, Nduk.
Langkahmu... kini adalah langkah Remo.”
Sejak hari itu, Raras bukan hanya dikenal sebagai cucu Mak Sumirah. Ia menjadi simbol generasi muda yang menjaga budaya. Ia membuka kelas Tari Remo untuk anak-anak desa, mengajak mereka mencintai warisan tanah sendiri. Dan di setiap pertunjukan, saat lonceng di kaki berbunyi dan selendang merah melayang, semangat Mak Sumirah hidup kembali—melalui langkah kaki seorang gadis yang dulu tak
suka menari, tapi kini menari untuk menjaga sejarah.Setelah pentas budaya malam itu, nama Raras perlahan dikenal di desa. Banyak ibu-ibu yang datang ke rumahnya, mengucapkan selamat sambil membawa jajanan pasar. Beberapa diantara mereka bahkan berkata, “Anak saya mau ikut latihan sama Raras, ya. Biar ngerti budaya sendiri.”
Raras awalnya ragu menerima ajakan itu. Ia merasa belum cukup pantas mengajar. Namun, saat ia menyampaikan keraguannya kepada Mak Sumirah, sang nenek hanya tersenyum.“Ilmu budaya itu, Nduk, bukan tentang seberapa sempurna gerakanmu. Tapi seberapa tulus niatmu untuk melanjutkan warisan.” Akhirnya, di teras rumah mereka yang luas, Raras mulai mengadakan latihan Tari Remo
seminggu dua kali. Anak-anak kecil datang dengan wajah polos dan semangat membara. Suara kendang kembali menggema di sore hari, membangkitkan nostalgia masa muda warga desa. Yang paling membuat Raras terharu adalah ketika ia mengajari anak-anak tentang makna Tari Remo. Ia menjelaskan bahwa tarian itu bukan sekadar hiburan, tapi simbol keberanian dan jiwa kepahlawanan.
“Saat kalian menari,” ucapnya suatu sore, “bayangkan kalian adalah prajurit yang sedang
menjaga desa. Setiap langkah dan gerakan punya nyawa. Tari Remo bukan untuk gaya
gayaan, tapi untuk menjaga jati diri kita.” Waktu terus berjalan. Kesehatan Mak Sumirah semakin menurun. Namun, senyum diwajahnya justru semakin sering muncul. Ia selalu duduk di kursi rotan dekat jendela, mengamati latihan dengan wajah damai. Bagi Raras, senyum itu adalah bahan bakar
semangatnya. Suatu malam, datang kabar dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Jombang. Mereka mendengar tentang pertunjukan Raras dan ingin mengundangnya tampil di Festival Budaya Remo
Nasional di Surabaya. Itu adalah festival besar yang menampilkan para penari Remo dari seluruh daerah Jawa Timur.
“Kalau kamu tampil di sana,” kata Mak Sumirah dengan napas berat, “berarti langkahmu
sudah sejajar dengan para penari besar dulu, Nduk.” Tawaran itu mengguncang hati Raras. Ia sempat merasa takut: takut tidak mampu, takut mengecewakan, takut dianggap belum pantas. Namun, di malam sunyi, ia kembali membuka peti peninggalan neneknya. Di sana, ia menemukan buku catatan tua milik Mak Sumirah berisi cerita dan catatan latihan tari.
Salah satu halaman tertulis:
"Jika suatu hari cucuku membaca ini, ketahuilah bahwa aku menarikan Remo bukan untuk menjadi terkenal. Tapi agar cucu-cucuku tahu siapa mereka, dan dari mana mereka berasal." Tangis Raras pecah malam itu. Ia sadar, tugasnya bukan sekadar menari, tapi menjaga identitas.
***
Hari festival pun tiba. Surabaya ramai oleh suara gamelan, penari-penari dengan berbagai gaya Remo, dan penonton dari berbagai kota. Raras mengenakan kembali selendang merah milik neneknya, dan kali ini ia naik panggung bukan hanya sebagai penari dari desa, tapi sebagai penerus darah seni Mak Sumirah.Di tengah gemerlap lampu dan sorak-sorai, Raras mulai menari. Kakinya mantap menghentak
panggung, tangannya lentur mengayun, matanya tajam namun tenang. Setiap gerakan mengalir begitu dalam, membawa aroma tanah, sejarah, dan doa dari nenek di rumah yang tak bisa ikut hadir karena kondisinya. Saat tarian usai, tepuk tangan menggema. Seorang juri mendekatinya dan berkata, “Kamu
bukan hanya menari, kamu bercerita. Kamu membuat kami terhubung dengan akar budaya.” Raras hanya tersenyum. Ia tahu, ada seseorang di desa yang pasti tersenyum lebih lebar. Sepulang dari Surabaya, ia membawa piala kecil dan kain batik sebagai penghargaan. Tapi yang paling berharga adalah surat dari panitia festival yang mengundangnya untuk menjadi duta budaya muda Jawa Timur.
Namun sebelum sempat menyampaikan kabar bahagia itu, Raras disambut oleh tangis sunyi
di rumah. Mak Sumirah... telah menghembuskan napas terakhirnya pagi itu. Raras menatap wajah neneknya yang tenang, damai, dan tersenyum dalam tidur panjangnya. Di genggaman tangannya, ada selendang merah yang telah ia lipat rapi, seolah telah menyerahkan seluruh jiwanya pada cucu tercinta.
Hari itu, Tari Remo kehilangan salah satu sosok legendarisnya. Tapi pada saat yang sama, ia juga menemukan penerus baru yang siap melangkah.

Komentar
Posting Komentar