Malam Merah

 


"Aku tahu kalau cara ini salah, akan tetapi dengan ini aku bisa melihat pelangi dari setiap luka yang kutanggung sendiri."

‎Dari sudut desa yang hening, tawa riuh memecah udara, 2 anak berlari bergandengan tangan. hari-hari dipenuhi kebahagiaan, bermain, dan bernyanyi bersama. Detik demi detik tak terlewatkan sedikitpun, hingga tumbuh butiran-butiran cinta. 

‎Malam itu nampak begitu indah bintang berjajar rapi membentuk pola, di atas rerumputan hijau ditemenin cahaya rembulan, cinta yang bermuara ingin segera berlabuh pada dermaga hati.

‎Malam indah penuh cinta itu, malam kelam yang merenggut darah, bintang-bintang berjajar rapi adalah simbolis pengabdian dan pengorbanan warga desa kepada dewa semesta. Keluarga yang memiliki anak gadis harus rela menyerahkan anaknya untuk di jadikan korban persembahan. 

‎00.00, tepat tengah malam gadis itu di jadikan arak-arakan warga desa, lalu ia di ikat terpasung di atas kayu bakar yang menjulang. Warga desa menjalankan ritual dengan mantra-mantra mengelilingi dan membawa obor api, lalu "Buummm." api menyala, di iringi teriakan tanpa ampun. 

‎Wajah pucat, derai air mata penuh kebencian terlahir dalam jiwa lelaki, melihat pujaan hatinya di bakar hidup-hidup. 

10 tahun telah berlalu, lelaki mungil itu kini telah dewasa, ia memutuskan untuk pergi dari desanya sejak kejadian saat itu.
‎Ia selama 10 tahun berlatih pedang di sebuah kuil kuno, lelaki itu kini mengembara dari desa ke desa untuk menumpas segala bentuk kejahatan, sesuai perintah gurunya. 
‎"Semakin banyak darah yang tertumpah dalam pedangmu, maka pedang itu akan semakin menghitam dan bisa memberikan energi lebih tanpa kau minta." ucap guru waktu itu. 
‎Malam itu bintang yang berjajar indah muncul kembali ketika lelaki itu menatap langit, terlintas dalam ingatanya menumbuhkan kembali dendam semakin membara. Malam sunyi lelaki itu mengintip dari balik bukit yang ribun, melihat desanya dan ternyata benar rutinitas persembahan masih terus dilakukan. 
‎02.00 dini hari, perayaan telah usai, warga desa kembali pulang kerumahnya meninggalkan api yanga membakar korban, lalu tertidur setelah mabuk-mabukan ritual persembahan.

Lelaki itu diam-diam masuk dari rumah kerumah.
‎"Tsaaaaaah, arrrrrrg." pedang menggorok leher orang-orang satu persatu tanpa suara, kepela terputus tergeletak berlumur darah. Malam merah, pembantaian 1000 lebih warga dalam satu malam, senyap tanpa suara. 
‎End.
‎Malang, 15 Juli 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Remo di Atas Tanah Leluhur

Teddy Kecil

Gurilem, Kuliner Warisan Bumi Parahyangan