Pesan dari Balkon 3B

 



Penulis: Suci Asdhan

Tangisan dari balkon 3B bukan lagi terdengar seperti suara manusia. Namun, siapa sangka rasa tak peka selalu mampu mengalahkan rasa bersalah?


Itu status yang sempat ditulis seseorang di grup chat warga. Beberapa menertawakannya, beberapa langsung keluar grup.


Namun, aku rasa, itu bukan lelucon.

Aku Raka, mahasiswa tingkat akhir dan tetangga sebelah unit 3B — kamar yang pernah dihuni Sela. Gadis yang terlalu baik untuk dunia yang sebrutal ini.

Dulu kami sering ngobrol lewat balkon. Tak pernah ketemu langsung, tapi kami dekat. Sela pintar, lucu, dan terkadang, terdengar menyembunyikan sesuatu.

Lalu suatu malam, semuanya berubah.

Ada suara bentakan. Teriakan. Lalu senyap.


Esoknya, unit 3B kosong.

Seminggu kemudian, jasadnya ditemukan di sungai. Kasus ditutup sebagai bunuh diri.


Namun, aku tahu, malam itu ada seseorang bersamanya. Aku mendengarnya. Bahkan... aku melihatnya dari celah tirai: lelaki itu—Aldo, pacarnya. Sekaligus senior paling populer di kampus.

Aku tak pernah bicara pada siapa pun. Aku terlalu tak peduli sekitar, lebih tepatnya terlalu pengecut.


Tiga bulan berlalu, dan suara itu kembali. Tangisan lirih. Kadang diselingi suara ketukan seperti kuku menggores kaca.


Lalu semalam, sebuah surat terselip di bawah pintuku. Tanpa nama, hanya tulisan tangan yang kukenal.

"Jika kau ingin berhenti mendengar suara ini, kembalikan yang telah hilang. Buka balkon 3B jam 3 pagi. Sendirian. Jangan bawa siapa pun."

Konyol. Namun, aku melakukannya.
Jam 3 dini hari, aku berdiri di balkon. Hujan rintik turun. Pintu geser ke balkon 3B terbuka sedikit. Ku dorong pelan.
Di sana ..., tampak siluet bayangan seseorang. Penasaran, aku mendekat pelan-pelan.

Wajahnya pucat. Mata sayunya menatapku. Rambut panjangnya basah menempel di pipi. Bukan hantu. Dia manusia. Atau ..., semacamnya.

"Sela?" bisikku.
Dia hanya mengangguk lemah.
"Aku pikir kau—"
"Aku tidak mati. Aku dipaksa menghilang," suaranya lirih. "Aldo... dia tidak hanya melakukan ini padaku. Dia memaksa kami semua diam."
“Kami?”

Tiba-tiba cahaya petir menyambar. Di belakangnya... berdiri tiga perempuan lain. Sorot mata semuanya tampak kosong dengan bekas luka di leher juga tangan. Salah satu perempuan membawa kamera. Satunya lagi memegang catatan harian. Sosok lainnya, menatapku paling dalam.

Sela menatapku. “Dan kau, Raka... kau penonton setia kekejamannya.”
Aku mundur. "Aku tak tahu! Aku tak bisa apa-apa!"
“Kau tahu,” gumam Sela. "Sayangnya kau hanya diam.”

Dari balik tirai balkon, mereka melangkah maju, satu demi satu. Langkah mereka pelan, tapi pasti.

"Apa yang kalian mau dariku?" teriakku.
Esok harinya, balkon 3B masih kosong.
Tapi kini suara tangisan pindah... ke balkon 3A.
Dan aku, satu-satunya saksi, tidak lagi bisa membedakan mana mimpi dan mana hukuman.


‎Bandung, 23 Juni 2025


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Remo di Atas Tanah Leluhur

Teddy Kecil

Gurilem, Kuliner Warisan Bumi Parahyangan