Surat untuk Aruna yang Sudah Mati
Surat untuk Aruna yang Sudah Mati
Penulis: Aisyah
Aku membacanya lagi untuk kesekian kali. Surat itu, bertinta biru yang sudah memudar, tertulis dengan tangan yang gemetar. Isinya masih sama seperti dua tahun lalu. Penuh luka, amarah, dan kata-kata terakhir dari seseorang yang telah lama menghilang dari hidupku.
"Untuk Aruna,
Jika kamu membaca ini, berarti aku sudah pergi. Tapi jangan kira ini surat selamat tinggal. Ini adalah bukti. Bukti bahwa kamu pernah membunuhku itu bukan secara fisik, tapi perlahan, dengan caramu yang memikat lalu menghilang tanpa jejak. Kalau kau pikir aku akan diam, kau salah."
Aku menghela napas panjang. Sudah dua tahun sejak Dira, sahabat sekaligus mantan kekasihku, menghilang setelah menulis surat ini. Polisi menyebutnya bunuh diri. Aku tidak pernah percaya. Dira tidak mungkin mengakhiri hidupnya semudah itu. Dia gadis kuat. Tapi setelah surat itu muncul di kotak posku, keraguan itu mulai menggerogoti logikaku.
Aku tahu aku bersalah. Meninggalkannya tanpa penjelasan adalah keputusan terbodoh yang pernah kuambil. Tapi aku juga punya alasan. Saat itu aku didiagnosis menderita kanker stadium akhir. Aku tidak ingin membuatnya menunggu seseorang yang akan mati. Lebih baik aku yang hilang.
Namun, anehnya, aku sembuh. Keajaiban, kata dokter. Tapi ketika aku kembali untuk mencarinya, Dira sudah tak ada.
Dan sekarang, dua tahun berlalu, aku menerima pesan aneh di akun e-mail lamaku. Dari alamat tak dikenal.
"Kalau kau ingin tahu yang sebenarnya, datanglah ke stasiun tua jam dua pagi. Jangan bawa siapa-siapa. Jangan terlambat. Dira"
Kupikir itu candaan. Tapi ketika pesan itu terus masuk setiap malam, dengan rincian berbeda, aku mulai goyah. Bisa saja ini hanya ulah orang iseng. Tapi bisa juga… Dira belum mati.
Pukul 02.00 dini hari, aku berdiri di depan stasiun tua yang sudah lama tak digunakan. Hening. Lampu temaram berkedip seperti nyawa yang sebentar lagi padam.
"Dira?" panggilku pelan. Suaraku menggema, tak ada jawaban.
Tiba-tiba terdengar suara langkah. Aku menoleh. Seorang perempuan muncul dari balik gerbong tua. Wajahnya tertutup syal dan topi. Tapi aku mengenal gerakannya. Itu Dira. Aku yakin.
"Aku tahu kau akan datang," katanya, suara yang terlalu familiar, seperti gema masa lalu.
Aku melangkah pelan. "Dira… Kau-"
"Kau pikir aku mati?"
Aku diam.
Dia tertawa.
"Orang-orang pikir aku bunuh diri. Kau pun mengira begitu, bukan?"
"Tapi… surat itu…"
"Itu bagian dari rencanaku." Suaranya berubah dingin.
"Kau harus tahu, aku tidak pernah benar-benar mencintaimu."
Dunia seakan berhenti berputar.
"Apa maksudmu?"
Dia mendekat. Matanya menatapku lekat-lekat.
"Aku hanya ingin membuktikan sesuatu. Bahwa cinta bisa dimanipulasi. Bahwa bahkan orang sepertimu, yang merasa paling bijak dan paling kuat bisa jatuh ke dalam perangkapku."
"Apa kau mempermainkanku selama ini?" Suaraku bergetar, antara amarah dan kebingungan.
"Lebih dari itu. Aku menciptakan semuanya. Surat, kematian palsu, dan bahkan pengobatanmu."
Aku mengerutkan dahi.
"Pengobatan?"
Dia tertawa dingin.
"Kau pikir kau sembuh karena keajaiban? Tidak, Aruna. Kau sembuh karena aku menginginkannya. Aku punya koneksi. Aku tahu doktermu. Aku membayar mereka untuk membiarkanmu hidup. Agar kau bisa terus menderita."
Aku melangkah mundur.
"Kau gila…"
"Aku hanya patah hati dengan cara yang lebih cerdas dari kebanyakan orang," bisiknya.
Tiba-tiba, suara sirine terdengar dari kejauhan. Polisi.
"Maaf, Aruna. Waktuku habis. Tapi aku senang kau datang."
Dia berbalik, berjalan masuk ke dalam gerbong tua, dan menghilang dalam kegelapan. Aku mencoba mengejarnya, tapi tak ada siapa-siapa di sana. Hanya kursi kosong, debu, dan bayang-bayang luka lama.
Seminggu kemudian, aku menerima paket kecil di depan pintu. Isinya: foto-foto masa lalu kami, rekaman pengakuannya, dan satu pesan singkat bertuliskan:
"Sekarang kau tahu rasanya dibunuh secara perlahan. Dengan ingatan, bukan senjata."
Aku terduduk. Nafasku tercekat.
Dira memang sudah mati. Tapi bukan tubuhnya, melainkan sisi warasnya.
Dan aku… adalah orang yang membangkitkan kuburnya.
Titimangsa: Depok, 14 Juli 2025
Komentar
Posting Komentar