Tamu di tanahku sendiri
Napen : RahmA/ RawA
Angin sore berdesir pelan mengusap pucuk-pucuk daun trembesi tua yang berdiri kokoh di pinggir sawah, tak jauh dari rumah Mbah Karto. Dari tempatku berdiri, di beranda bambu yang reyot aku bisa melihat lelaki itu sering tepekur sendirian.
Mbah Karto, lelaki tua itu masih saja duduk di sana di bawah pohon. Seolah tak bergeming oleh waktu dan kebisingan yang kian merayapi desa kami, Desa Karangrejo.
Dulu, Desa Karangrejo adalah surga kecil. Hamparan sawah hijau membentang luas, dihiasi nyanyian burung pipit dan gemericik air irigasi yang jernih. Anak-anak berlarian riang tanpa beban dan tanpa rasa takut. Tapi semua itu berubah sejak kabar pembangunan pabrik gula raksasa itu datang.
Pabrik itu dijanjikan membawa kemajuan, pekerjaan, dan kesejahteraan. Tapi bagi Mbah Karto dan sebagian besar warga lama desa ini, pabrik itu hanyalah monster yang menggerogoti. Tanah-tanah sawah yang telah diwariskan turun-temurun, tempat nenek moyang kami menanam asa. Satu persatu dibeli dan ditukar dengan ganti rugi yang tak seberapa. Suara mesin berat dan asap pabrik menggantikan kicau burung dan air irigasi kini keruh bercampur limbah yang entah dari mana.
Rahma, anakku sering bertanya. "Bu, kenapa Mbah Karto selalu di sana? Kenapa tidak ikut main dengan kami?"
Aku hanya bisa tersenyum getir. Bagaimana bisa aku menjelaskan pada seorang anak kecil bahwa Mbah Karto tidak sedang bermain? Dia sedang berduka. Dia sedang berpegangan pada sisa-sisa kenangan akan desanya yang dulu, sebelum semua ini terjadi.
Mbah Karto adalah petani tulen. Tangannya kasar penuh kapalan, bukti puluhan tahun ia bersahabat dengan tanah. Baginya, tanah bukan sekadar lahan tapi bagian dari jiwanya. Ia menolak menjual tanahnya. "Ini warisan, Nduk," katanya suatu kali padaku, matanya menatap jauh. "Darah dan keringat leluhurku ada di sini. Bagaimana bisa aku menjualnya?"
Namun, tekanan terus datang. Para perantara dari pabrik terus membujuk, mengiming-imingi, bahkan mengancam. Beberapa tetangga akhirnya menyerah, tergoda janji manis atau takut akan ancaman. Satu per satu rumah kosong, sawah-sawah mulai ditimbun dan suara alat berat semakin dekat, menelan kesunyian desa.
Mbah Karto tetap teguh. Ia adalah satu-satunya yang tersisa di barisan depan penolakan. Setiap pagi ia pergi ke sawahnya yang kini tinggal sejengkal itu, mengolahnya dengan sisa tenaga. Setiap sore ia duduk di bawah pohon trembesi, memandangi hamparan tanah kosong di depannya yang dulunya adalah sawahnya dan sawah tetangga-tetangganya.
Suatu malam, Rahma demam tinggi. Batuknya tak henti. "Udara di sini semakin buruk, Bu. Banyak partikel debu dari pembangunan pabrik bertebaran. Kasihan anak-anak di sekitaran pabrik, ujar dokter puskesmas dengan raut sendu.
Hatiku perih mendengarnya. Desa kami, yang dulu sejuk dan bersih, kini perlahan mencekik kami sendiri. Aku tahu, Mbah Karto juga batuk-batuk akhir-akhir ini. Tubuhnya semakin kurus serta langkahnya gontai. Aku pernah mencoba membujuknya untuk pindah ke kota, ikut denganku.
"Tidak, Nduk," jawabnya lemah, "Aku akan mati di sini, di tanah kelahiranku ini."
Hingga suatu pagi yang kelabu, kabar itu datang. Mbah Karto ditemukan tak bernyawa di bawah pohon trembesi kesayangannya. Wajahnya damai, seolah ia akhirnya menemukan ketenangan. Di sampingnya tergenggam erat segenggam tanah basah, sisa dari sawah yang ia pertahankan mati-matian.
Pohon trembesi itu masih berdiri gagah, seolah menjadi saksi bisu atas perjuangan Mbah Karto atas hancurnya sebuah desa, dan atas rindu yang tak berkesudahan akan masa lalu yang tak akan pernah kembali. Setiap kali aku melewati pohon itu, aku selalu teringat pada Mbah Karto, pada sawah-sawah yang dulu hijau, dan pada sebuah pertanyaan yang tak pernah terjawab: benarkah kemajuan selalu berarti harus mengorbankan segalanya? Mengusir mereka dari tanah kelahirannya. Seperti diriku yang kini lebih nyaman tinggal di kota dengan buaian yang katanya lebih menjanjikan.
Komentar
Posting Komentar