Tiga Penjelajah dan Gerbang Aestheris
Tiga Penjelajah dan Gerbang Aestheris
Napen : MaDam
Langit pagi itu berwarna ungu keperakan, tanda bahwa hari di dunia Lumora tidak akan berjalan biasa.
Milo, si bocah ceria berambut cokelat kusut, berdiri di depan Peta Arah Aether yang berkilau di udara seperti hologram. Di belakangnya, Kina gadis cerdas dengan kacamata bulat dan tas ransel penuh alat aneh mencatat dengan cepat, sementara Nara, si pendiam tapi tajam mata, hanya mengamati dengan satu alis terangkat.
"Aku yakin! Gerbang Aetheris ada di Lembah Terkunci!" seru Milo, menunjuk tanda merah berkedip di peta. "Kita harus ke sana sebelum matahari kedua tenggelam."
Kina menghela napas. "Tapi menurut catatan Kode Tertua, lembah itu dijaga oleh Roh Bayangan. Kita harus siap segalanya."
Nara mengangguk. "Kalau kau takut, tetaplah di sini."
Kina melotot, “Siapa bilang aku takut?! Aku cuma realistis.”
Mereka bertiga memulai perjalanan menuju Lembah Terkunci tempat yang disebut-sebut sebagai lokasi dari Gerbang Aetheris, portal kuno menuju dunia paralel tempat harapan dan memori bertemu.
Perjalanan itu tidak mudah.
Di tengah Hutan Tanpa Suara, mereka dikejar kawanan serigala kabut. Milo, dengan ketangkasan alaminya, melompat ke cabang pohon dan melempar buah bersinar untuk mengalihkan perhatian mereka.
“Cepat! Lewat sini!” teriaknya, menarik tangan Kina.
Nara mengayunkan tongkat energi dari sabuknya, menciptakan gelombang cahaya yang membuat para serigala berlari tunggang-langgang. Ia tak berkata apa-apa, tapi sorot matanya menunjukkan: “Kalian terlalu berisik.”
Malamnya, mereka bertiga duduk di depan api unggun, saling melempar cerita masa kecil satu hal yang jarang mereka lakukan.
“Ayahku dulu pernah bercerita soal Aetheris,” kata Milo pelan. “Katanya, itu tempat orang-orang bisa menemukan apa yang paling mereka cari… atau kehilangan.”
Kina diam sejenak. “Aku mungkin ingin mencari kenapa ayahku tak pernah kembali dari ekspedisi ke sana.”
Nara menunduk. “Aku cuma ingin tahu apakah aku pernah punya rumah.”
Sejenak, hanya suara api yang terdengar. Tapi sejak malam itu, ikatan mereka bertiga menjadi lebih dalam bukan hanya rekan petualang, tapi keluarga pilihan.
Tiga hari kemudian, mereka tiba di Lembah Terkunci. Tanahnya berkilauan seperti kristal. Di tengahnya berdiri sebuah gerbang batu melengkung, penuh ukiran dan simbol cahaya.
Namun, dari balik kabut muncul sosok besar hitam legam, matanya merah menyala. Roh Bayangan.
“Tidak bisa sembarangan masuk,” gumam Nara.
“Biarkan aku coba bicara,” kata Milo. Ia maju dan mengangkat tangannya.
“Kami bukan pencuri,” ucapnya lantang. “Kami penjelajah yang mencari... sesuatu yang hilang dari hidup kami.”
Roh itu menggeram.
“Coba jujur,” bisik Kina dari belakang. “Mungkin dia menjaga gerbang dari niat jahat, bukan dari orang tulus.”
Milo menghela napas. Ia mendekat lebih lagi.
“Aku kehilangan ayahku. Kina kehilangan jawabannya. Dan Nara ... dia mencari asal usul. Kami tidak ingin kuasa. Kami hanya ingin tahu.”
Roh itu terdiam. Matanya yang merah mulai redup dan perlahan, ia membungkuk dan menghilang menjadi debu cahaya.
Gerbang pun menyala.
Di balik gerbang, dunia tampak tak berwujud seperti berada di tengah awan, penuh pantulan kenangan.
Satu per satu, mereka berjalan masuk.
Milo melihat bayangan dirinya kecil bermain layang-layang dengan ayahnya. Ia tersenyum. “Aku ingat. Aku tidak sendirian.”
Kina melihat buku harian ayahnya terbuka, isinya berisi peta-peta yang ia teruskan sekarang. “Aku tidak gagal. Aku melanjutkan.”
Nara melihat dirinya kecil dalam pelukan seorang perempuan bermata tajam dan berambut seperti miliknya. “Ibu .…”
Gerbang Aetheris bukan tentang menemukan sesuatu secara fisik. Tapi mengingat, menerima, dan menyembuhkan.
Saat mereka keluar dari dunia di balik gerbang, langit Lembah Terkunci kembali cerah. Tidak ada kabut. Tidak ada bayangan.
Hanya ketiganya, berdiri bersama.
“Aku nggak akan pernah lupa tempat ini,” ucap Milo sambil menatap langit.
Kina tersenyum, lalu menepuk bahu Nara. “Terima kasih karena ikut bersama kami.”
Nara hanya mengangguk, tapi wajahnya tampak lebih hangat dari biasanya.
Petualangan mereka belum selesai masih banyak tempat yang belum mereka jelajahi di dunia Lumora. Tapi satu hal pasti: selama mereka bersama, tidak ada yang benar-benar hilang.
Selesai.
Komentar
Posting Komentar