Indigo hingga Jodoh Weton

 


Indigo hingga Jodoh Weton

Cindy Andika Fiona

 

Pandemi yang bermula pada Desember 2019 membuat geger seluruh masyarakat dunia, termasuk diriku. Bayangkan aku yang merupakan anak perkuliahan pada bidang studi Penyiaran Multimedia harus menanggung imbas luar biasa akan dampaknya.

 

"Bagaimana dengan revisian tugas akhir saya, Bu?" tanyaku via chat text pada Mbak Anas, dosenku.

 

"Proposal tugas karya akhirmu sudah bagus, rapi, dan sesuai ketentuan. Kamu harus mendapatkan ketiga tanda tangan dosen ya. 1 dosen pembimbing dan 2 dosen penguji," terang Mbak Anas kepadaku.

 

Tiba-tiba ketika kami sedang chattingan, sampailah broadcast dari kampus pada notifikasi handphone kami. Pesan itu berbunyi, "Sehubungan dengan masifnya penyebaran virus Covid-19 maka kegiatan ajar-mengajar diberhentikan sampai waktu yang belum bisa dipastikan. Seluruh stakeholder kampus, dosen, hingga mahasiswa, dilarang untuk bertemu secara langsung untuk menghindari akibat dari penularan virus yang tidak terduga ini. Demikiran pemberitahuan ini disampaikan, semoga keputusan ini bisa dilaksanakan secara tanggung jawab. Terima kasih."

 

Aku pun langsung menelpon dosenku kembali, Mbak Anas seketika setelah mendapatkan notifikasi pesan tersebut. "Halo, assalamualaikum Mbak Anas, gimana dong dengan tugas karya akhir saya? Apakah bisa dipaksakan saja agar saya bisa cepat lulus?" tanyaku dengan memohon penuh pengharapan.

 

"Maaf, mari kita ikuti regulasi kampus yang telah diberitahukan. Jangan sampai kita sakit karena kesehatan itulah yang utama. Saya tidak bisa membantumu lebih banyak, maaf."

 

"Baik Mbak, Terima kasih." Dengan lemas aku menutup telponnya dan melemparkan HP-ku ke kasur. Lalu aku menutup laptop dan mengambil posisi di sebelah HP-ku dan rebahan tak berdaya di kasurku.

 

***

Hari-hariku sekarang berubah membosankan semenjak pandemi ini. Kebanyakan waktuku hanya di rumah saja. Bahkan hanya bisa menemui orang tuaku saja setiap hari di rumah karena semua kegiatan berubah menjadi WFH. WFH merupakan singkatan dari Work From Home atau bekerja dari rumah. Untuk meminimalisir penyebaran terjangkitnya sakit Corona, seluruh aktivitas dialihkan di rumah aja.

 

Teringat sebelumnya aku merupakan salah satu anak media yang aktif di kampus. Tidak hanya menjadi mahasiswa studi Penyiaran Multimedia, tetapi aku juga aktif di PERS Suara Mahasiswa. Salah satu lembaga pemberitaan tersohor di kampus. Bahkan dengan id card Pers yang aku miliki bisa menjadi tiket untuk menembus ruang Pers di event besar di Jakarta.

 

***

Notifikasi Video Call di WhatsAppku berdering, membangunkan tidurku. Karena pandemi aku jadi banyak waktu malas-malasan, termasuk dalam hal bangun tidur. Aku jadi selalu kesiangan dalam bangun tidur karena lebih banyak menghabiskan waktu malamku untuk menonton film terutama film horor.

 

Aku lihat tulisan nama “Ninis”, dia merupakan sahabat terbaikku. Aku langsung mengangkat tombol hijau tanda menerima panggilan sambil mengucek mata dan menguap.

 

“Halo Princess Putri kesiangan, kebiasaan deh kalau gak ditelepon, nggak bangun-bangun,” teriak Ninis cerewet.

 

“Haduh, Ninis bawel. Kan aku begadang nontonin film horor,” timpal aku membela diri.

 

“Awas loh ah, kebanyakan nonton film horor nanti jadi indigo beneran!” ucap Ninis asal.

 

“Mau dong nyaingin Risa Saraswati,” balasku selanjutnya dalam menantang.

 

“Hus, jangan sembarangan ngomong!”

 

“Kamu duluan, heh,” kataku membela diri.

 

Ninis pun menggaruk kepala dengan wajah gemasnya. Aku pun langsung bangun dari bantal empukku dan mengambil minum pada gelas yang ditaruh di meja belajarku. Aku pun langsung menyerobot pembicaraan. “Aku mandi dulu, ya.”

 

“Eh ntar dulu, aku mau ngajak kamu sesuatu.” Tahan Ninis menghentikan langkahku yang tadinya mau bergegas untuk mandi. Aku pun langsung mengernyitkan alis. “Cek chatku, aku sudah kirimkan foto,” katanya setelahnya.

 

Aku pun langsung mengecek chat dari Ninis. Mataku terbelalak ketika dia mengirimkan open recruitment menjadi member dari Komunitas Literasi Indonesia. Aku pun menyunggingkan senyuman manis terlebarku. “Aku ikut!” kataku bersemangat.

 

“Oke, habis ini kita daftar bareng ya. Ya udah sana mandi! Baunya sampai ke sini,” kata Ninis sambil menutup hidung.

 

“Bye.” Aku pun langsung menutup VC dari Ninis, mengambil handuk, dan segera ke toilet untuk segera mandi.

 

***

Malam hari aku sudah mempersiapkan diri untuk menonton film horor selanjutnya. Kali ini judulnya Pamali. Sudah ada pop corn dan minuman soda dalam menemani malamku hari ini. Tengah malam sudah terlalui ketika aku memulai nonton. Di pertengahan film tiba-tiba ada semilir suara menyapaku, “Hai, Putri. Kini kamu menjadi ratu kami. Salam kenal,”

 

“Siapa itu?” tanyaku bangun dari tempat duduk tempat aku menonton film horor. Aku biarkan film Pamali itu tetap terputar sembari aku mencari sumber suara yang menyapaku sebelumnya. Aku lihat jendela kamarku terbuka seiring angin yang berhembus kencang. Oh aku masih meyakinkan hati jika suara yang aku dengar barusan hanyalah suara angin yang tidak sengaja berembus. Aku pun merapikan hordeng dan menutup jendelaku rapat-rapat. Aku tenangkan gejolak hati yang berdebar kencang dan kembali ke posisiku untuk menikmati filmku lagi.

 

Pukul 3 pagi film Pamali itu selesai. Aku pun mulai merasakan ngantuk dan mengambil posisi tidur. Biasanya aku mematikan lampu untuk membuat tidurku tenang. Tiba-tiba ada seseorang perempuan yang mengajak aku ngobrol kembali. “Tidak usah takut kepada kami, mulai sekarang kami akan menjagamu.”

 

Aku pun beranjak dari kasurku dan berdiri menantang seraya berkata, “Siapa kalian? Kenapa kalian bisa mengajakku berbicara.” Aku merasa sekarang seperti orang sinting yang berbicara sendirian dengan makhluk tak berwujud. Aku pun mengambil minum air putih di mejaku sembari mengatur tempo jantung yang berdetak tak karuan karena diselimuti kekhawatiran. Otakku berputar seolah berbicara pada diri sendiri, “Apakah aku mulai indigo? Efek aku suka film horor. Tapi, aku tidak bisa meninggalkan hobiku ini. Arrrrgggghhhhh.” Aku pun kembali ke kasur, menutup wajahku dengan selimut sambil membaca ayat kursi dan mulai memaksa diri untuk lekas tertidur.

 

***

 

Di Komunitas Literasi Indonesia aku belajar banyak hal tentang kepenulisan pendek seperti menulis aforisme, puisi, hingga cerpen. Aku merasa kalau aku lebih suka menuliskan narasi yang lebih panjang seperti cerpen atau cerita mini dibandingkan dengan tulisan yang berbau diksi tinggi semacam puisi. Di sini aku memiliki mentor puisi yang sangat jago meramu kata yang bernama Arif. Setiap baca diksi yang dia ramu, aku merasa hidup dan seperti orang yang sedang jatuh cinta.

 

Wahai jodohku yang belum tampak oleh aksa

Aku ramal indahnya dirimu laksana bulan purnama

Sang dewi dengan binar putih yang benderang

Memiliki senyum cantik sulit untuk dilupakan

 

Wahai jodohku, apakah kamu tahu?

Aku merindukan hadirmu dalam mendekapku

Bisakah aku percepat takdir supaya kita lekas bertemu

Berbagi bahagia untuk menembus ruang dalam menumbangkan jarak dalam waktu

 

Itulah cuplikan puisi yang dia buat. Dalam hati aku berkata, “Alahmak, bagaimana caranya aku bisa buat puisi seindah itu? Bagaimana caranya aku bisa menjadi sosok romantis? Apalagi aku orangnya amburadul acuh gini, tontonanku aja dedemit horor yang gak berbentuk. Eh tapi aku penasaran deh, Mentor Arif ini wajahnya seperti apa ya? Aku coba personal chat deh.”

 

***

 

“Assalamualaikum Kak. selamat malam. Perkenalkan aku Putri, salah satu member di Komunitas Literasi Indonesia. Salam kenal Kak Arif, boleh izin untuk saling save?”

“Waalaikum salam wr.wb Kak, boleh banget. Aku izin save ya,” balasnya cepat karena kebetulan dia sedang online. Tidak berapa lama aku bisa lihat foto profilnya sambil menutup mulut, ya ampun dia manis banget walau wajahnya lebih dominan aksen Jawanya. Dia seperti tokoh film yang sering aku lihat di film horor dan aku sangat mengidolakan wajah seperti Arif gini. Aku mencoba untuk menyembunyikan kekaguman awalku.

 

“Bolehkah aku meminta Kakak untuk mengajarkanku berpuisi? Aku kesulitan merakit diksi indah seperti puisi-puisi yang Kakak hasilkan,” ucapku to the point.

 

“Sebelumnya, boleh aku tahu berapa umurmu saat ini?” tanyanya lebih lanjut.

 

“24 tahun, Kak nanti Agustus,” jawabku.

 

“Oh, kalau aku udah 25 tahun nanti Oktober,” balasnya dengan ramah. Entah mengapa lama-lama aku nyaman berinteraksi dengan Mentor Arif ini. Dia benar-benar Jawa pride banget. Tutur katanya sopan dibacanya, nyaman. Duh, perasaan macam apa yang aku rasakan ini. Dasar Putri!

 

“Sebenarnya, seluruh karya tulisan itu indah ya, sama halnya dengan puisi. Tinggal gimana kamu berani meramu keseluruhan komponen menjadi satu kesatuan. Kalau pada puisi, kamu harus lebih banyak mempelajari diksi lewat tesaurus. Aku kirimkan ebook-nya ya supaya kamu bisa pelajari lebih lanjut,” tegasnya.

 

Aku pun membaca teorinya dengan angguk-angguk seraya tersenyum dan bergumam, “Alangkah bahagianya kalau aku punya suami kayak Arif. Pasti hidupku akan bahagia dan tentram abis. Ah ngomong apa sih kamu Putri!” Tanganku langsung membenamkan wajah karena berpikiran asal.

 

Tiba-tiba ada suara perempuan seperti semilir angin itu lagi muncul seraya berkata, “Dia adalah jodohmu. Tetap jaga hubungan baik dengannya.” Lama-kelamaan aku terbiasa mendengarkan ucapan mereka seperti layaknya aku bicara dengan orang lain sesama manusia. Akhirnya aku menerima kondisi “Indigo” ini sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku pun senyum-senyum sendiri mendengar prediksi mereka dan kelepasan mengaminkan dengan kencang doa teman gaibku ini. Semoga benar ya aku bisa berjodoh dengan Arif.

 

***

 

Januari 2022

 

Aku sedang fitting baju untuk persiapan wisuda. Aku mengenakan kebaya berpayet dengan warna biru muda sebagai warna favoritku. Alhamdulillah aku bisa menyelesaikan tugas karya akhirku karena wabah Covid-19 sudah menemukan ujung selesai setelah vaksin penangkalnya ditemukan. Tiba-tiba teleponku berdering dengan tulisan nama “Arif” meminta video call. Aku pun mengangkatnya dengan cepat. “Halo Kak,” kataku menyapa.

 

“Waalaikum salam wr.wb,” jawabnya kilat.

 

“Ya ampun, maaf aku terlalu semangat mengangkat VC darimu,” kataku dengan mesam-mesem. “Ada apa, Kak?”

 

“Aku mau lihat aja gimana bentuk kebaya untuk wisudamu bulan depan,” katanya selanjutnya.

 

Aku pun langsung memperlihatkan kamera ke posisi belakang dan memperlihatkan lekukan tubuhku yang dibalut kebaya melalui pantulan cermin yang berdiri setinggi badanku. Dari layar HP aku lihat dia menyunggingkan senyum manisnya. Tiba-tiba dia berceletuk, “Kamu cantik banget.”

 

Aku memastikan pendengaranku, “Apa Kak, tadi kamu ngomong aku cantik?” ucapku memastikan.

 

“Iya, memang kamu cantik. Semua orang pasti mengakui hal tersebut,” katanya tegas dan lugas.

 

Aku merasa pipi putihku merona tiba-tiba menjadi memerah disanjung seperti itu oleh Arif. Hatiku berdebar tak karuan. Aku hanya bisa membalas, “Terima kasih untuk sanjungannya, Kak.”

 

Dia pun langsung membuka ucapannya lagi, “Bulan depan ketika kamu wisuda aku datang ya. Aku pengen bertemu kamu secara langsung.”

 

“Serius?” kataku reflek sambil menutup mulutku rapat setelahnya. Bisa-bisanya aku ngomong sekencang itu dan membuat Arif seketika kaget.

 

“Memangnya ada yang salah?” tanyanya kembali menunggu jawabanku.

 

“Bukan, aku senang sekali akhirnya bisa bertemu denganmu untuk pertama kalinya,” ucapku dengan pipi yang lagi-lagi tidak bisa kusembunyikan merah meronanya. Rasanya di saat itu aku ingin melonjak-lonjak.

 

“Oke, sampai bertemu bulan depan ya. Aku mau nyuci motor dulu, babay. Assalamualaikum,” ucapnya sembari menutup percakapan di VC-nya. Aku pun langsung memeluk handphone-ku dalam dekapan dada. Ah rasanya senang sekali.

 

***

 

Februari 2022

 

Akhirnya seluruh prosesi wisuda telah aku lalui. Aku melempar pandangan ke sana-sini untuk mencari sosok Arif. Apakah dia jadi datang? Atau hanya rencana kosong agar membuatku senang saja?

 

“Kamu sedang mencari siapa sih, Put? Gelisah amat,” tanya Ayahku.

 

“Ada temanku mau datang,” ucapku kepada Ayah.

 

“Siapa itu, Nak?” tanya Bundaku. Aku hanya terdiam dan tertunduk. Tiba-tiba aku merasakan tepukan di bahuku.

 

Happy graduation ya Put,” ucap seseorang tersebut dengan suara nge-bass yang sudah aku kenali. Aku pun mendongak dengan riangnya dan menarik senyuman semangatku lagi.

 

“Halo, Kak! Akhirnya kita bertemu ya sekarang,” ungkapku membalas. Aku lihat dia mencium tangan Ayah dan Bunda dengan hormat.

 

“Wah cah ganteng ini siapa? Kok kamu nggak pernah cerita ke Ayah dan Bunda kalau udah punya pacar?”

 

“Hush, dia bukan pacarku. Namanya Arif. Mentor puisiku di Komunitas Literasi Indonesia,” kataku memperkenalkan diri.

 

“Ya udah yuk, kita ke restoran dekat sini untuk ngobrol lebih dekat,” pinta Ayahku dalam memecahkan ketegangan.

 

***

 

Di Restoran

 

Terdengar suara gamelan mengiringi suasana pertemuan dan makan siang kami. Obrolan kami mengalir hingga satu pertanyaan krusial ditanyakan oleh Ayah. “Kamu lahir tanggal berapa?”

 

“Kamis, 30 Oktober 1997. Kalau di hitungan Jawa itu hari Kamis Pon, Om,” katanya membalas.

 

“Woah ternyata jodoh dong sama Putri yang neptunya genap di angka 14 karena kamu jumlah neptumu yaitu 15. Jadi kamu akan melamar anak saya, kapan?” tanya Ayahku seketika. Aku lihat wajah tenang pada Arif. Sementara aku mendengar pertanyaan tersebut dengan tersedak dan berusaha menenangkan diri sendiri dengan minum teh hangat yang tersedia di depanku.

 

“Ayah, aku baru ketemu pertama kali sama Arif kok ditembak pertanyaan kayak gitu sih,” gumamku membela Arif.

 

“Ya bukankah niat baik harus disegerakan?” kata Bunda membela Ayah.

 

“Bulan depan insyaAllah saya akan melamar Putri. Saya rasa saya sudah cocok dengan Putri dan kebetulan pas wabah Corona kemarin saya juga memegang banyak job WFH dari rumah. Jadi, tabungan saya sudah cukup untuk menikahi Putri,” terang Arif santai. Aku mendegar pernyataan kaget bukan kepalang dan lebih kencang tersedaknya. Bagaimana mungkin pertemuan pertama udah langsung ke hubungan lebih serius. Tidak bisa dimasuk akal.

 

“Put, nggak perlu khawatir kalau jodoh kadang datangnya cepat dan nggak terduga. Dulu Ayah dan Bunda menikah jarak sebulan dari waktu pertemuan pertama. Bulan berikutnya kamu udah di rahim Bunda, Jadi, nggak ada yang nggak mungkin. Siap nggak siap kamu harus siap dalam menerima takdir. InsyaAllah Ayah dan Bunda akan mendukung yang terbaik.”

 

Aku hanya mengangguk kepalaku seraya mengangguk dan tertunduk. Aku pasrahkan semua takdir ini kepada Sang Illahi. Mungkin ini sudah menjadi skenario terbaik dari-Nya.

 

***

 

“Saya terima nikah dan kawinnya Putri Rahayu Mustikawati binti Surya Darmawan dengan mas kawin seperangkat alat shalat, perhiasan emas sebert 500 gram, dan buku berjudul ‘Mahar’ dibayar tunai.”

 

“Gimana saksi?” tanya penghulu.

 

“Sahhhhhh,” jawab seluruh orang yang hadir secara serentak. Setelahnya itu, banyak yang bersoraki mengucapkan “Alhamdulillah”.

 

Sehabis itu, aku langsung mencium punggung tangan suami baruku, Arif. Benar-benar nggak terduga kalau sekarang aku sudah resmi menjadi Nyonya Santoso, Tiba-tiba suara semilir perempuan berdengung kembali di telingaku. “Selamat ya Put, sekarang kamu resmi menjadi seorang istri dengan orang yang tepat seperti prediksi kami.”

 

Aku pun langsung menimpal omongan mereka dalam hati, “Terima kasih telah mendoakan dan memperlancar jodohku ya.”

 

Kami pun langsung melanjutkan seluruh prosesi pernikahan.

 

SELESAI

 

 

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Remo di Atas Tanah Leluhur

Teddy Kecil

Gurilem, Kuliner Warisan Bumi Parahyangan