Munggahan di Langit Jawa



oleh: Makika

"Kamu suka buku ini juga?" tanyanya sambil mengangkat novel yang tadi kubahas dalam sesi bedah buku.

Aku menoleh pelan. Wajahnya teduh, senyumnya hangat seperti lampu-lampu aula kampus yang mulai redup. Aku masih menyeka keringat di pelipis setelah menjadi penanggap diskusi. Lelaki itu menyapaku dengan begitu ringan, seolah kami sudah pernah berbicara sebelumnya.

"Eh... iya," jawabku sambil tersenyum. "Aku malah baru baca ulang untuk ketiga kalinya. Tetap saja selalu menemukan makna baru."

Ia terkekeh, mengangguk sambil membolak-balik novel itu. "Saya Timur, mahasiswa Sastra. Dari Jombang. Kamu Hara, ya? Dari Antropologi?"

Aku mengangguk cepat, sedikit terkejut ia tahu namaku.

"Malang kota kecil, kampusnya lebih kecil lagi," katanya cepat, seolah membaca pikiranku. "Sering lihat kamu di diskusi budaya. Kamu selalu punya sudut pandang yang unik."

Aku tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rona di pipi. "Mungkin karena aku banyak denger cerita dari nenek."

"Ah... cerita rakyat ya?" Timur mengangkat alis, matanya berbinar. "Aku suka sekali dongeng-dongeng macam itu. Apalagi yang masih hidup di masyarakat."

Sejak malam itu, hidupku tidak pernah sama.

Kami mulai sering bertukar buku. Kadang duduk berjam-jam di taman kampus, membahas novel, sejarah, kadang mitos dan cerita rakyat. Dalam banyak hal, kami berbeda. Tapi justru karena itu, diskusi kami selalu hidup. Panjang. Bahkan kadang sampai debat, tapi hangat.

"Jadi menurutmu, cerita tentang Nyi Roro Kidul itu bisa dimaknai simbolik?" tanyaku suatu sore.

"Jelas. Simbol kedaulatan perempuan dalam budaya pesisir selatan," jawab Timur mantap.

Aku mendecak. "Tapi ada juga yang bilang itu hasil konstruksi kolonial. Jadi... siapa yang bener dong?"

Timur menyeringai. "Ya semua bisa benar. Itu kan keindahan budaya, selalu bisa ditafsir ulang."

Aku tertawa. "Kamu terlalu lentur, Mas Sastra."

"Dan kamu terlalu kaku, Mbak Antropologi."

Kami sama-sama tertawa.

Namun di balik tawa itu, perlahan-lahan, tumbuh sesuatu yang lain. Seperti daun-daun kecil yang tumbuh pelan di ujung ranting. Tak terlihat, tapi terasa.

Suatu sore, di bawah pohon flamboyan yang bermekaran, Timur tiba-tiba menggenggam tanganku. Hangat dan ragu bersamaan.

"Hara... kalau suatu hari kita menikah," katanya pelan, "kamu percaya nggak, perbedaan kita bakal jadi masalah?"

Aku menatap matanya. Dalam. Serius.

"Maksudmu... beda budaya kita?"

Dia mengangguk. "Aku Jawa. Kamu Sunda. Apa itu akan jadi tembok?"

Aku menghela napas panjang, lalu berkata pelan, "Timur... nenekku selalu bilang, Sunda dan Jawa nggak bisa bersatu."

"Maksudmu... mitos Perang Bubat itu?"

Aku mengangguk. "Katanya, rumah tangga Sunda-Jawa nggak akan pernah harmonis. Selalu ada air mata."

Timur menatapku lama, sebelum berkata lirih, "Tapi aku bukan Gajah Mada. Dan kamu bukan Dyah Pitaloka. Kita bukan kisah lama yang pahit itu."

Aku ingin percaya. Tapi bayang-bayang itu nyata. Terlalu sering kudengar cerita rumah tangga yang gagal karena perbedaan budaya. Terlalu banyak peringatan dari sesepuh.

Tapi cinta membuat kami tetap berjalan. Hingga pada suatu malam, saat kami duduk di kantin kampus, aku berkata dengan pelan, “Gimana kalau kita adakan pernikahannya saat Munggahan?”

“Munggahan?” Timur memiringkan kepala. “Itu apa ta, Hara?”

Aku tersenyum. “Munggahan itu tradisi menyambut Ramadan. Biasanya keluarga kumpul, saling minta maaf, makan bersama, kadang rekreasi juga. Dan satu yang paling penting, mendoakan leluhur.”

Timur mengangguk-angguk. “Wah... kedengeran indah sekali.”

"Jadi," lanjutku, "gimana kalau kita jadikan momen itu sebagai pertemuan dua keluarga?"

Timur tersenyum lebar. “Itu ide bagus banget, Har. Kumpul keluarga yang biasanya untuk tradisi, kali ini jadi awal dari keluarga baru.”

Kami tertawa bersama, lalu duduk berjam-jam merancang visi-misi rumah tangga. Jangan bayangkan yang manis-manis saja. Kami justru mencoba merancang cara menghadapi pahitnya.

"Aku bakal tinggal di Bandung atau kamu di Jombang?" tanyanya.

"Kita diskusi. Mungkin gilirannya."

"Kalau nanti orang tuaku dan orang tuamu berselisih?"

"Kita jadi penengah. Jangan ikut emosi."

"Dan kalau aku mulai bosan?"

Aku memukul pelan tangannya. "Kamu nggak bakal bosan. Aku banyak cerita mitos!"

Kami tertawa lagi.

Tapi ternyata, rencana tak selalu semulus harapan.

Aku pulang ke Bandung, sementara Timur kembali ke Jombang. Kupikir, orang tuaku akan mendukung. Tapi wajah Ayah langsung kaku saat kusebut: Jawa.

“Kamu yakin, Hara?” tanya Ayah pelan tapi tegas.

Ibu yang tengah mengaduk teh pun menghentikan gerakannya.

“Apa kamu lupa cerita nenekmu soal Perang Bubat?” tanya Ibu, suaranya pelan namun sarat makna. “Bagaimana Dyah Pitaloka memilih mati demi kehormatan keluarga? Kita tidak pernah lupa itu, Hara.”

Aku menggenggam cangkir teh yang mulai dingin. “Tapi... itu kan sudah ratusan tahun lalu.”

Ayah menatapku lama. “Mitos lahir dari luka. Dan luka itu belum sembuh sepenuhnya.”

Sementara di Jombang, Timur pun menghadapi badai serupa.

“Kamu yakin mau nikah sama gadis Sunda?” tanya pamannya, Pakde Wiryo. “Orang bilang, rumah tangga seperti itu berat. Banyak benturannya.”

Timur menjawab pelan, “Aku nggak percaya sama ketakutan yang diwariskan. Aku percaya pada janji.”

Tapi benih keraguan sudah telanjur ditanam. Kami saling menguatkan lewat video call. Malam-malam menjadi ladang doa. Semoga cinta ini diberkahi langit.

 

Dan saat langit  Bandung, atau Jombang, entah mana yang menyinari lebih terang, menyambut Ramadan, kami tahu cinta ini bukan tentang darah yang diwarisi, tapi tentang hati yang kembali kepada-Nya.

Namun perjalanan menuju hari itu lebih panjang daripada yang tampak dari luar.
Beberapa hari sebelum Munggahan, aku pulang lebih awal ke Bandung untuk membantu nenek menyiapkan hidangan khas keluarga.

“Nini, bantuin dong masak opak,” kataku sambil membuka laci penyimpanan beras ketan.

Nenek, yang tengah duduk di kursi rotan menganyam daun kelapa, menoleh pelan. “Opak mah buat apa? Kan Munggahan biasanya lotek sama burayot.”

Aku tersenyum, lalu duduk di sampingnya. “Kali ini mau ditambah opak. Soalnya Timur suka.”

Mata keriput nenek langsung menatapku tajam. “Timur? Eta budak Jawa itu?”

Aku mengangguk pelan. “Iya, Ni. Kami mau nikah... insya Allah pas akhir Syaban”

Sejenak, keheningan melingkupi kami. Anyaman nenek terhenti. Angin sore masuk dari jendela dapur, membawa aroma daun pisang yang sedang dijemur.

“Nenek pernah ngalamin,” katanya akhirnya, pelan. “Dulu... teman nenek, putri dari kampung sebelah, nikah sama lelaki Jawa. Awalnya indah, tapi banyak perbedaan yang bikin luka.”

Aku menatap nenek, mengusap punggung tangannya. “Tapi beda generasi, Ni. Kami... kami saling menghargai. Timur bukan orang yang menuntut.”

Nenek menatapku dalam-dalam. “Kamu yakin bisa mengubah takdir cerita lama?”

“Bukan mengubah,” jawabku pelan, “tapi menulis ulang. Dengan tinta yang kami pilih sendiri.”

Nenek tak menjawab. Tapi malam itu, ia menyiapkan opak bersamaku. Tanpa banyak kata. Tapi cukup satu isyarat, hatinya mulai terbuka.

Di Jombang, Timur pun sedang duduk bersila di teras belakang bersama ibunya. Suara jangkrik bersahut-sahutan, dan bau tanah basah naik dari taman kecil.

“Ibu masih simpan surat dari almarhum kakekmu” ucap Ibu sambil menyeruput teh panas. “Waktu itu, Bapak pernah bilang... jangan takut berbeda asal, asal seiman dan sejalan.”

Timur diam, mendengarkan. “Aku ingin Ibu setuju. Tapi lebih dari itu... aku ingin Ibu menyayangi Hara.”

Ibunya menatap ke arah langit, lalu menghela napas panjang. “Aku hanya takut kamu kecewa. Karena adat, karena bicara yang beda rasa. Kita kadang merasa benar, padahal cuma beda kebiasaan.”

Timur tersenyum. “Bukankah karena beda itu kita bisa belajar saling mencintai?”

Ibu menoleh, menatap wajah Timur yang tampak dewasa. “Kalau kamu sungguh percaya pada niatmu, Ibu akan ikut percaya.”

“ Ayah, ibu sebelum ramadhan aku ingin melamar Hara kalau bisa langsung menikah pun tidak apa jika ibu mengizinkan, bisnis cafeku alhamdulilah sudah ramai dan berjalan baik bahkan aku berencana untuk membuka cabang baru di kota Malang dekat kampus.” Ucap Timur kepada kedua orang tuanya.

setelah obrolan itu berakhir panjang akhirnya menemukan titik terang, kedua orang tuaNya menyetujui bahkan tidak disangka kedua orang tua kami saling menelpon dan memastikan rencana pernikahan kami berdua berjalan dengan lancar.

 

Hari yang dijanjikan pun tiba. Munggahan itu berbeda. Rumahku ramai bukan hanya oleh saudara kandung, tapi juga keluarga Timur yang datang dari Jombang. Ada rombongan kecil, Ibu dan adik perempuan Timur, Pakde Wiryo, serta satu keponakan yang masih SMA.

Ayahku tampak gelisah sejak pagi. Tapi ketika Pakde Wiryo datang, menyalami dengan takzim dan berkata, “Kami datang dengan penuh hormat, memohon silaturahmi,” suasana pelan-pelan mencair.

Ibuku pun menyambut dengan senyum hangat. “Kami juga ingin mengenal lebih jauh keluarga anak kami.”

Di dapur, ibu dan ibu Timur memasak bersama. Awalnya canggung. Tapi ketika mereka mulai membahas resep, dan menyadari keduanya sama-sama suka menyelipkan daun jeruk ke dalam tumisan tempe, tawa pelan pun muncul.

“Nggak nyangka kita punya cara yang mirip ya, Bu,” kata Ibu Timur sambil mengaduk.

Ibuku mengangguk. “Kadang selera lebih mudah menyatu daripada hati.”

Di halaman, adik laki-lakiku asyik bermain kartu tradisional dengan keponakan Timur. Sementara aku dan Timur menyiapkan tikar panjang untuk makan bersama.

“Kamu deg-degan?” bisikku.

“Banget,” katanya, menyipitkan mata. “Tapi ini deg-degan yang bikin pengen doa terus.”

Kami duduk bersila bersama. Ayah membuka dengan doa panjang, menyebut nama-nama leluhur dan mengirim al-fatihah. Di ujung doa, ia berkata,

“Semoga Munggahan ini jadi awal perjalanan baru. Dua keluarga, dua adat, satu tujuan: ridho Allah.”

Air mataku menetes. Begitu juga Timur. Dan ketika nenek menyodorkan burayot pada ibu Timur, lalu berkata, “Ini manisnya Bandung, Bu. Coba satu,” aku tahu, warisan luka itu mulai disembuhkan oleh tangan-tangan baru.

Pernikahan kami berlangsung keesokan harinya. Ijab kabul sederhana di masjid kecil dekat rumah. Tidak ada riasan berat. Hanya kain kebaya sederhana berwarna pucat dan peci putih yang bersih.

Tapi sakral terasa begitu kuat.

“Aku nikahkan engkau, Hara binti Harun...”

Aku menahan napas.

“... dengan maskawin tersebut, tunai.”

“Saya terima nikahnya...”

Dan seketika, dunia seperti hening. Semua kisah pahit masa lalu seperti luruh dalam doa.

Kami duduk berdua setelah itu. Saling menatap dalam diam. Perlahan, Timur berkata, “Akhirnya kita sampai juga.”

Aku mengangguk.

Kami tahu, pernikahan kami bukan tentang garis keturunan. Tapi tentang dua jiwa yang memilih satu arah. Islam menjadi poros, bukan asal usul. Doa menjadi perekat, bukan budaya yang dulu saling menyakiti.

Ketika semua selesai dan kami duduk berdampingan, nenek mendekat. Ia menyentuh pundakku dan berbisik, “Nenek doakan kamu menulis kisahmu sendiri, dengan tinta yang penuh sayang.”

Pakde Wiryo juga menepuk bahu Timur. “Jaga cucu urang Sunda ini baik-baik, ya. Perang Bubat cukup jadi cerita di buku sejarah.”

Kami tertawa pelan. Bahwa ternyata, luka bisa sembuh. Bukan dengan melupakannya. Tapi dengan keberanian untuk hidup berbeda dari ketakutan masa lalu.

Kini, setiap kali Ramadan datang, kami selalu merayakan Munggahan. Kadang di Bandung, kadang di Jombang, kadang bahkan di Malang, tempat kami pertama bertemu dan  di kota Malang kami abadikan membuka cabang cafe milik timur dekat kampus untuk mengenang pertemuan kami.

 

Kami menggelar tikar panjang, menyajikan lotek dan pecel, burayot dan serabi. Dua rasa yang dulu dianggap tak bisa menyatu, kini saling melengkapi.

Dan saat anak kami yang masih kecil bertanya, “Kenapa Munggahan kita rame, Ma? Banyak keluarga,”

Kami menjawab dengan senyum, “Karena cinta itu luas. Ia menampung banyak cerita. Bahkan yang dulu dianggap bertentangan.”

Langit Malang, Bandung, dan Jombang mungkin berbeda warna. Tapi saat Ramadan menyapa, semua langit tampak sama,  penuh doa, penuh cahaya, dan penuh harap.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Remo di Atas Tanah Leluhur

Teddy Kecil

Gurilem, Kuliner Warisan Bumi Parahyangan