Aku Bukan Trofimu, Aku Anakmu

 

Karya: Lovanna_grey

Inspirasi: Drakor "Our Writen Soul & SKY CASTLE"
Isi : 
 [Berapa lama seorang anak merasakan kebahagiaan saat bersama keluarganya? Sepuluh tahun? Tiga puluh? Tidak pasti. Tidak pasti semua anak merasakan kebahagiaan dari kecil]. 

 [Kata orang, anak yang berprestasi itu bisa membanggakan kedua orang tuanya. Kata orang, anak yang berprestasi itu hidupnya sempurna karena kejuaraannya. Namun, tidak semua anak seperti itu, contohnya saja  Algara Mavendra yang merasakan ketidakadilan dengan kedua orang tuanya terhadap dirinya] 

Seorang anak laki-laki berprestasi yang memiliki segudang kejeniusan dan prestasi yang membanggakan, nyatanya ia tidak benar-benar bahagia. Kejeniusannya hanya dianggap sebagai tameng keluarga yang hanya untuk ajang pamer kepada kerabat, teman, saudara, maupun orang-orang terdekatnya.

Kepandaiannya hanya dimanfaatkan oleh kedua orang tuanya. Dipaksa untuk mengikuti lomba ini-itu demi kepuasan mereka. Algara merasa tertekan. Ia iri melihat teman sebayanya bisa bermain dengan ceria sementara dirinya malah harus belajar, belajar, dan belajar. Ia juga ingin bermain bebas seperti mereka. Tetapi, kedua orang tuanya selalu melarangnya keluar kecuali untuk sekolah dan les. 

Hanya itu.

Menyebalkan, pikir Algara. Padahal ia hanya anak berusia sepuluh tahun dan tergolong masih cukup kecil. Bagaimana jika ia dewasa tidak bahagia dan tidak memiliki teman? Bahkan, sekarang saja ia juga tidak memiliki teman sebaya yang bisa ia ajak berbicara dan bertukar cerita serta pikiran.

 "Ayah....Bunda....Algara mau bermain...." 

....

Di sebuah keluarga kaya raya, terdapat seorang anak laki-laki bernama Algara Mavendra. Ia merupakan seorang anak laki-laki jenius. Setiap ia mengikuti berbagai perlombaan maupun di kelas, ia selalu mendapatkan juara utama.

 "Juara utama, dimenangkan oleh....Algara Mavendra! Beri tepuk tangan yang meriah!!!"  suara sorakan dari para guru pun menggema di seluruh area sekolah. 

Mereka selalu mengandalkan Algara karena kepandaiannya. Sayangnya, dibalik kebahagiaan itu, Algara tidak merasa bahagia. Ia bukan tidak bersyukur karena ia juara, melainkan seluruh penghargaan itu seandainya hanya untuk kedua orang tuanya. Bukan untuk dirinya. 

Jika dipikirkan lagi, seharusnya antara si pemegang juara dan orang terdekatnya akan merasa bahagia. Sepertinya kebahagiaan karena kejuaraan itu tidak berlaku untuk Algara. Bahkan, setelah ia pulang dari sekolah pun, kedua orang tuanya langsung menagih kejuaraannya seperti seseorang yang menagih hutang.

Apakah kejuaraan itu terlihat seperti hutang yang harus dibayar oleh seorang anak? Sepertinya iya, untuk kedua orang tua Algara.

 "Sayang? Gimana sama lombanya? Bunda sama Ayah denger, katanya kamu juara, ya, Sayang? Mana juaranya?"  dengan ekspresi sendu dan tanpa mengucapkan sepatah kata, anak itu memberikan hadiah kejuaraannya pada Bundanya.

"Terimakasih, Sayang. Ayah bangga sama kamu. Makin rajin, ya, belajarnya biar dapat juara dan ngebanggain orang tua kamu ini? Kami senang liatnya." 

Kalian bangga sama prestasiku dari hasil jerit payahku sampai aku sakit. Bahkan, kalian hanya menginginkan hasilnya tanpa tahu perjuanganku sebenarnya? Apakah kalian menyayangiku sebagai anak atau kalian menyayangi prestasiku....

Aku hanya ingin kalian menyayangiku layaknya seorang anak, bukan sebuah trofi yang dipajang hanya untuk dinikmati.

 "Ayah? Ibu? Aku lelah." 

 "Kalau lelah, kau beristirahatlah dan jangan lupa makan untuk mengisi energimu supaya kamu bisa kuat untuk belajar dan mengikuti lomba." 

 "Tidak bisakah kalian melihatku, sekali saja?" Ayahnya mengusap kepala Algara sembari berucap yang membuat hatinya semakin perih.

"Astaga, ayolah~ anak laki-laki tidak boleh cengeng dan manja. Sana, masuk ke kamar. Ayah masih ada pekerjaan yang belum Ayah selesaikan."

Algara dalam hatinya menagis sembari menatap kedua orang tuanya yang memilih sibuk dengan urusannya masing-masing tanpa memerdulikan jika ada yang menangis hatinya di sini. Sepanjang hari dan sepanjang waktu.

Waktu demi waktu terus bergulir. Algara yang menginginkan kebebasan, nyatanya terus terpaksa melakukan apa yang kedua orang tuanya mau. Sebenarnya hal itu sangat bagus bagi perkembangan si anak. Namun, tidak untuk kedua orang tua Algara. 

Hingga suatu ketika, saat Algara sedang belajar dan mulai jengah, ia menatap pintu kamarnya dengan tatapan sendu. "Ayah...Ibu...maafkan aku..."

....

Ibu Algara yang berniat mengunjungi putranya di kamar untuk mengajaknya makan, tak lupa memanggil nama putranya dengan panggilan lembut khas seorang ibu.

"Algara? Ayo, kita makan siang dulu—" ucapannya terhenti saat netranya tidak menemukan sosok putranya yang berada di kamar.

"Algara? Ibu tahu, kamu sedang bersembunyi. Jangan bermain petak umpet dengan ibu, Algara," suaranya sedikit lebih meninggi. Sayangnya, tetap tak ada sahutan dari putranya. seketika, perasaan khawatir melingkupi hati Mara, ibu Algara.

"Algara! Algara!" 

Mara mencari Algara ke sana kemari dari berbagai sudut. Mulai dari bawah kolong tempat tidur putranya, kamar mandi, belakang pintu, belakang lemari, nyatanya tidak ada satupun sosok Algara. Perasaanya semakin cemas tak terbendung. Bahkan, Mara pun meneriaki suaminya untuk segera mendatanginya.

"Pah? Algara hilang, Pah!" Andrean yang mendengar itu, berteriak tidak percaya.

"Papa lagi sibuk, Ma! Jangan bercanda!" merasa kesal karena sang suami tidak percaya, Mara menghampiri suaminya dengan amarah yang menggebu disertai matanya yang berkaca-kaca. 

"KAMU BILANG, AKU BERCANDA?! KALAU KAMU GAK PERCAYA, SEKARANG KAMU CARI ANAKMU DI KAMAR BARU KAMU BOLEH BILANG AKU BERCANDA!" Tegas Mara. Andrean berdecak, kemudian meletakkan laptop yang ia pangkunya ke meja di ruang tamu.

Setibanya di kamar Algara, dengan perasaan dongkol Andrean masuk untuk membuktikan bahwa ucapannya benar dan isterinya memang sedang mengerjainya. Pintu kamar Algara dibuka lebar disusul suara Andrean yang terdengar ketus.

"Lihat? Algara ada di---" 

"Mana?! MANA ALGARA?! KAMU TADI BILANG, AKU BOHONG, 'KAN? SEKARANG KAMU LIHAT SENDIRI ALGARA GAK ADA DI KAMAR? SEKARANG KAMU MAU APA? MAU NYALAHIN AKU KARENA GAK BECUS NGURUS ALGARA?! LALU KAMU APA?!"

"Mara, aku—"

"APA?! Kalau sampai Algara hilang, aku bakalan bener-bener nyalahin kamu, Pah!" Andrean tertawa sarkas. 

"Aku? Kenapa cuma aku yang disalahin?! Mentang-mentang kamu isteri aku, kamu bisa seenaknya nyalahin aku?! INGET, YANG NGELAHIRIN ALGARA ITU, KAMU! JADI, KAMU ORANG YANG HARUS DISALAHIN!"

"KALAU AKU SALAH, KAMU JUGA SALAH! AKU—" 

Seketika, ucapan Mara terputus saat netranya tak sengaja melihat jendela kamar Algara terbuka lebar. Netranya mulai bergerak gelisah. Dengan cepat, wanita berambut sebahu itu menghampiri jendela, lalu melihat ke bawah.

"Algara..." 

Lidahnya kelu, tak mampu untuk berkata lagi. Jendela terbuka lebar dan Algara tidak ada di kamarnya. Kemungkinan terbesarnya, Algara kabur melalui jendela kamarnya. Mara langsung pergi begitu saja meninggalkan suaminya yang sepertinya masih ingin membela diri.

"MARA! AKU LAGI BICARA SAMA KAMU! KAMU MAU KEMANA—"

"AKU MAU CARI ANAKKU YANG KABUR! KALAU KAMU MASIH PEDULI SAMA ALGARA, BANTU CARI ALGARA!"

...

Sepasang pasutri itu terus mencari Algara ke sana-kemari menggunakan mobil mewahnya. Bahkan, tak sekali dua kali mereka bertanya pada orang-orang yang berlalu lalang. Namun, mereka tidak ada yang melihat putra mereka. Sudah satu jam lebih mereka berusaha mencari putra mereka, tepat saat mereka bertanya pada seorang gadis remaja, barulah mereka bisa bernapas lega karena gadis yang bernama Luna itu mengetahui keberadaan putra mereka.

"Tadi, kalau tidak salah, aku melihat anak kecil yang kalian sebutkan pergi ke sebuah perpustakaan di sebelah sana. Maaf sebelumnya, apakah...anak kecil itu adalah anak kalian, Tuan dan Nyonya?"

"Iya, dia anak kami." gadis muda itu tersenyum kikuk, kemudian membungkuk sekilas sebelum gadis muda berusia dua puluan tahun itu berucap.

"Syukurlah, jika anak laki-laki itu putra kalian. Dia sangat baik dan ramah. Tapi, sepertinya, dia terlalu menyimpan beban seorang diri. Apakah sebelumnya di rumah ada masalah, kalau boleh saya tahu?" keduanya sontak terdiam. Apa maksud dari wanita muda itu?

"Apa maksudmu? Kami tidak pernah ada masalah di rumah!" ketus Andrean.

"Ah, maafkan saya, Tuan, hanya saja saya bisa tahu jika anak kecil itu sedang memikul beban sendirian dari sorot matanya."

"Jangan sok tahu dan jangan pernah ikut campur urusan keluarga saya!"

"Sekali lagi, maafkan saya. Namun, saya hanya ingin memberikan saran pada Tuan dan Nyonya supaya lebih menghargai putra Anda dan lebih mempeduliannya serta lebih mendengarkan putra Anda. Saya tidak ingin anak kalian menjadi seperti adik saya, hingga akkirnya meninggal dan membuat saya menyesal karena tidak bisa menjaganya."

"Terimakasih. Tapi kami tidak butuh saranmu. Permisi."

"Ayo, Pah kita ke sana."

"Terimakasih." wanita muda itu hanya mengangguk kecil dan tersenyum tipis pada wanita paruh baya itu sembari menatap kepergian sebuah mobil Avansa putih. Gadis muda itu tersenyum tipis.

 [Terkadang orang tua tidak pernah memperhatikan anak-anak mereka dan selalu menyalahkan anak-anak mereka hingga pada akhirnya mereka menyesali apa yang telah mereka tuai. Seperti kedua orang tuaku dulu dan aku. Maafkan kakakmu yang tidak bisa menjagamu, Laras]. 

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di depan sebuah perpustakaan usang, namun masih terlihat menawan di pinggir kota Yogyakarta. "Ini perpustakaannya, Pah?"

"Dari ucapan gadis tadi, sepertinya bener ini, Mah. Kalau begitu, ayo langsung masuk ke sana," 

Andrean dan Mara pun langsung memasuki bangunan tersebut. Setibanya di sana, mereka disambut oleh beberapa orang yang tengah membaca buku. Netra mereka bergulir ke sana kemari untuk mencari putra tunggal mereka yang katanya ada di dalam sana. Tiba-tiba, sebuah suara serak mengejutkan keduanya.

"Permisi? Ada yang bisa saya bantu, Tuan? Nyonya?"

"Ah, begini, kami ingin mencari putra kami. Tadi seorang gadis muda memberitahu kami jika putra kami ada di sini. Apakah benar-benar ada, Pak?" pria paruh baya itu tersenyum.

"Apa putramu berusia sepuluh tahun?"

"Benar! Dimana dia sekarang?"

"Putra kalian ada di sana." 

Tunjuk pria baya itu ke arah meja dan kursi perpustakaan yang terdapat beberapa orang dewasa yang tengah membaca buku. Tak lama, pemandangan hening itu berubah menjadi tempat bermain anak-anak dan terdapat beberapa anak-anak yang sedang bermain, tertawa dan bercanda di sana. Bahkan, sosok Algara pun tampak berada di sana dan terlihat jauh lebih bahagia dan lebih ceria tanpa beban. Mara yang melihat itu pun, tampak berkaca-kaca dan menggumankan nama putranya, lirih.

"Algara...." 

Berbeda dengan Andrean yang masih mencerna apa yang terjadi. Sebuah perpustakaan, berubah menjadi taman bermain anak? Mustahil. Andrean lekas menatap tajam pria baya di hadapannya itu. 

"Apa yang kau lakukan dengan tempatnya? Mengapa bisa berubah seperti itu?" Ujarnya marah. Namun pria baya itu hanya tersenyum kemudian berujar kembali. "tempat ini akan berubah sesuai apa yang manusia lihat. Jika dia orang yang tulus, maka tempat itu akan terlihat luar biasa dan terasa dama dan tenang. Namun jika yang melihatnya orang yang tamak dan tidak pernah menghargai orang lain, maka tempat itu akan terlihat seperti perpustakaan pada umumnya yang membosankan."

Mendengar itu, amarah Andran langsung memuncak. Dengan berani, Andran membentak pria tua penjaga perpustakaan.

"Apa yang kau maksud kami tidak menghargai orang lain?! KATAKAN!"

"Terlihat dari sikapmu padaku, sudah menunjukkan bahwa kau hanya mementingkan pekerjaanmu dan bukan orang lain, termaduk perasaan putramu selama ini. Asal kalian tahu, putra kalian terus memikul beban yang begitu berat di pundaknya seorang diri. Tidak seharusnya anak sekecil itu harus menjadi tempat untuk membuatkan banyak trofi bagi orang tuanya, mereka hanya menginginkan kebebasan. Kebebasan bermain, berinteraksi, dan mengeksplor dunia luar. Terlebih ungkapan yang mungkin sepele di telinga kita, mungkin saja mereka benar-benar menginginkan kalian untuk berhenti memenjarakan mereka. Hanya saja, orang dewasa tidak pernah mau mendengar keluh kesah mereka dan hanya ingin didengar maupun dituruti oleh mereka."

"Apa kalian tidak ingin, jika kebahagiaan yang selama ini dia inginkan terenggut selamanya karena sikap egois kalian?" Ujar pria tua itu sembari menatap beberapa anak-anak yang sedang bermain, juga kedua orang tua Algara yang menatap putra mereka sendu. 

"Alasanku berucap demikian, karena aku ingin melihat para orang tua mengabaikan anak-anak mereka seperti apa yang tidak bisa aku berikan pada anakku hingga aku harus merasakan penyesalan seumur hidupku." Mara menjatuhkan air matanya dan terlihat sangat menyesal apa yang telah ia lakukan selama ini.

"Aku ingin Algara kdmbali.... aku ingin anakku kembali! Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan, Pak Tuan...."

"Apa yang ingin kalian lakukan setelah dia kembali? Mengulangi hal yang sama?" Keduanya menggeleng cepat. Andrean langsung memegang kedua tangan pria tua itu, sesekali pria paruh baya itu berlutut di hadapannya.

"Kumohon....kembalikan putraku....aku menyesal. Aku menyesal karena telah abai pada erasaan putraku sendiri. Aku berjanji, aku tidak akan mengulanginya lagi dan aku minta maaf atas ucapanku tadi. Kumohon....hiks...." tanpa mereka ketahui, seorang gadis yang ditemuinya di jalan menatap sendu kedua pasutri itu dengan tatapan haru.

 [Penyesalan, biassnya dilakukan di akhir,'kan?] 

"Minta maaflah pada putramu, karena dia yang berhak memutuskan. Sekarang, kembalilah ke rumah."

"Tapi—"
"Akan ada sesuatu yang menunggumu di sana." 

Dengan berat hati, mereka meninggalkan perpustakaan itu. Setibanya di rumah, mereka memasuki rumah mewahnya dengan langkah gontai. Namun suatu ketika, mereka menyadari sebuah suara yang terdengar tidak asing di telinga mereka.

"Ma! Aku lapar! Kenapa kalian tidak ada saat aku mencari kalian?" 

Gerutu Algara sembari mempoutkan bibirnya di hadapan kedua orang tuanya. Melihat sosok Algara yang ceria seperti ini, sontak keduanya langsung merengkuh tubuh putra kecil mereka sembari mengucapkan permintamaafan pada Algara. "Algara...maafkan Mama, ya? Mama selama ini tidak pernah memperhatikanmu dna memahamimu...."

"Papa juga minta maaf sama kamu karena Papa selalu sibuk disaat kamu menginginkan kebersamaan bersama Papa. Papa merasa ggaal menjadi seorang ayah yang baik buat kamu. Seklai lagi, maafin Papa...hiks..."

"Algara udah maafin kalian sebelum kalian minta maaf sama Algara. Algara benar-benar lelah selama ini, tapi tidak apa karena Algara senang, karena kalian sudah mau memperhatikan Algara. Makasih Pah, Ma, Algara sayang kalian." 

Setelah mengungkapkan segala hal yang selama ini mereka pendam, mereka benar-benar berjanji untuk meunaikan tugas mereka sebagai kedua orang tua dengan baik, yaitu dengan tidak memaksa anak untuk melakukan hal yang tidak mereka suka, mengabaikan mereka, memberinya mereka ruang untuk mengeksplor diri, dan lain-lain.

 [Mungkin dengan kisah mereka, kalian sebagai orang tua bisa lebih bijak lagi dengan bersikap dalam mendidik. Ingatlah, bahwa kebersamaan itu mahal harganya melebihi semua harta benda kalian. Jangan sampai kalian menyesal karena mengabaikan hal-hal kecil] 

—End—


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Remo di Atas Tanah Leluhur

Teddy Kecil

Gurilem, Kuliner Warisan Bumi Parahyangan