Keindahan Tolong Menolong

 


Penulis: Apri Kuncoro

Pagi menjelang siang di Desa Sindangjaya selalu terasa damai. Udara segar masih menyelinap di sela-sela dedaunan, sementara burung-burung bersahutan riang. Di rumah sederhana milik Putra, aroma nasi goreng buatan Ibu Rumaenah masih menggantung di udara.


Putra yang berusia sebelas tahun sedang duduk di beranda, mengenakan kaos bola dan celana pendek. Ia sedang menghitung koin di tangannya. Hari itu ia berjanji akan membantu ibunya belanja ke Warung Makmur, warung terbesar di desa.


“Putra, belanja ini ya. Bu Rum menyodorkan daftar belanjaan Jangan lupa beli garam juga!” tambahnya


“Iya, Bu!” jawab Putra riang.


Di perjalanan menuju warung, ia bertemu Angga, teman sebayanya yang dikenal suka pamer dan sedikit keras kepala. Angga juga hendak ke Warung Makmur, dan mereka pun berjalan bersama. Sesampainya di sana, warung cukup ramai. Beberapa ibu sedang bercengkerama sambil memilih sayuran, dan seorang pengamen tua duduk bersila di dekat pintu masuk, memetik gitar dengan suara serak penuh harap.


Putra menoleh ke Angga, “Kasihan, ya. Bapak itu pasti belum makan.”


Angga mendengus, lalu merogoh saku celananya, memutar koin, dan memasukkannya kembali. “Ngapain dikasih? Nanti juga ada orang lain yang bantu. Lagian itu bukan urusan kita.”


Putra tertegun. Ia merasa ada yang tidak benar dari sikap temannya. Setelah belanja selesai, Putra mampir ke rumah Om Afri, pamannya yang dikenal bijak di desa.

“Om, aku tadi lihat pengamen di warung. Aku mau bantu, tapi Angga bilang bukan urusan kita,” cerita Putra dengan nada kecewa sambil menitihkan air mata


Om Afri mengangguk pelan. “Hmm, kadang orang lupa, Put. Menolong bukan soal urusan siapa, tapi soal hati.”


Tak lama kemudian, Om Afri mengajak Putra kembali ke Warung Makmur. Kebetulan Angga masih ada di sana, duduk di dekat gerobak jajanan tradisional


“Angga,” sapa Om Afri, ramah namun serius. “Om dengar kamu tadi enggan membantu orang yang kesusahan?”


Angga menunduk. “Aku cuma… aku pikir itu bukan tanggung jawabku, Om.”


Om Afri tersenyum, lalu duduk di sampingnya. “Kalau setiap orang berpikir begitu, siapa yang akan menolong? Dunia ini indah karena orang saling peduli. Kadang kebaikan kecil seperti memberi seribu rupiah bisa membuat seseorang bertahan satu hari lagi.”


"Tidak penting nominal yang kita berikan , ini melatih keikhlasan dan kepedulian kita terhadap sesama. Berikan dengan penuh keikhlasan dan raut wajah gembira . "


Angga hanya terdiam, sambil merenungi nasehat dari Om Afri. Ia menatap pengamen tua yang kini sedang membetulkan senar gitarnya. Perlahan, ia bangkit, merogoh sakunya, dan berjalan mendekat. Dengan malu-malu, ia menyelipkan dua keping koin lima ratus rupiah ke dalam kotak kecil di depan pengamen itu.


“Terima kasih, Nak,” ucap pengamen itu sambil tersenyum tulus.
Angga mengangguk tersenyum dan kembali ke tempat duduknya. 

Putra tersenyum melihatnya, dan Om Afri menepuk bahu Angga. “Itulah keindahan tolong-menolong, Nak. Sederhana, tapi penuh makna.”

Angga tersipu, tapi senyumnya kali ini terasa hangat, Hatinya juga lebih tenang dari sebelumnya. Sejak hari itu, ia menjadi anak yang lebih peka dan murah hati. Desa Sindangjaya kembali damai, dengan semangat tolong-menolong yang mengalir dari satu hati ke hati yang lain.

Jangan ragu menolong sesama yang membutuhkan !

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Remo di Atas Tanah Leluhur

Teddy Kecil

Gurilem, Kuliner Warisan Bumi Parahyangan