Napen : Milfa Yunita
"Kau bukan berasal dari keluarga kaya dan terpandang, yang ketika orang tua memasuki usia senja, lalu meneruskan usaha atau bisnis pada anak-anaknya."
Kau hidup dan dibesarkan dari keluarga sederhana. Namun, meskipun kedua orang tuamu adalah sepasang ibu bapak yang sangat sederhana, tapi, keduanya punya limpahan kasih dan sayang yang luar biasa.
Kehangatan dari kedua orang tua juga dari abang dan kakakmu, menjadikan engkau tumbuh sebagai perempuan yang lembut, pengertian, sabar juga tangguh. Kelak sifat terakhir ini lebih mendominasi kehidupanmu, karena Sang pencipta, mulai menggelar episode-episode yang tak terduga, yang membuatmu jatuh bangun menapaki hidup.
Semua bermula saat benakmu dipenuhi ingin. Keinginan untuk memiliki seorang adik. Kau tak puas hanya dengan menggendong boneka, yang hanya terbuat dari tanah mengenakan perca kain yang dililit.
Bapakmu seorang pedagang wedang ronde, tak cukup punya uang membelikan boneka bagus yang ada di etalase toko.
Keinginanmu untuk bisa punya adik lagi, direspon dengan ragu oleh bapakmu, yang cukup tahu riwayat ibumu yang tak memungkinkannya untuk kembali punya anak, sebab benjolan tumor cukup besar bersemayam di rahim perempuan yang melahirkanmu.
Namun, ragu bapakmu dengan cepat ditepis oleh perempuan penuh welas asih itu, dengan ucapan yang nyaris sama, In Syaa Allah ndak apa, demi Ayu, Pae.
Riwayatmu yang sering sakit-sakitan sewaktu kecil, membuat ibu dan bapakmu kian mencurahkan seluruh perhatian dan sayangnya padamu.
Kesembuhanmu membuat suasana di rumah yang semula senyap seketika berubah ramai, oleh sifat jenakamu yang mampu membawa binar bahagia dan ceria di rumah.
Bapak, ibu, kakak dan abangmu lega dengan hadirnya lagi tawa dari adik bungsu mereka, yaitu kamu.
Sakit berhari-hari yang membuat tubuhmu kurus kering dan membuat seluruh keluarga putus asa, membuat ibumu yakin dengan keputusannya untuk hamil lagi, demi memenuhi keinginan anak bungsunya yang kini telah sehat.
Doa bisa mengubah takdir –dengan izin Allah pastinya- memang benar adanya. Doa-doa yang kian kencang agar ibumu bisa meluluskan permintaanmu terus dilafalkan, hingga akhirnya berita gembira yang kau nanti itu tiba.
Ibumu hamil padahal dokter dengan tegas telah melarang. Demi kau si anak bungsu kesayangan, ibumu merelakan dirinya agar senyum terukir di bibirmu.
Namun, semua itu harus dibayar mahal dengan kepergian ibumu menghadap sang Khalik. Rasa bersalah karena inginmu berbuntut pada perginya orang terkasih, terus menghantui.
Sosok yang selama ini mengajarimu mengaji Juz Amma, dan kerap bercerita menjelang tidur dengan dongeng-dongengnya, serta tak lupa menyelipkan tembang-tembang reliji, buat ketiga buah hati, tak ada lagi di sisi.
Bukannya iba yang kau terima, tapi, justru penghakiman para tetangga, yang mulai mengusik ketenanganmu. Kau dianggap membunuh ibumu sendiri. Padahal kau pun hancur dengan kepergiannya.
Mereka, orang-orang yang sedikit pun tak punya rasa iba, terus merecoki pikiranmu seolah-olah kau lah penyebab meninggalnya ibumu.
Kau hanya bocah berusia enam tahun, yang sama sekali tak tahu menahu dengan riwayat kesehatan ibumu, tapi, orang-orang itu dengan seenak hatinya menuduhmu sekejam itu.
Jangan dekat-dekat dengan Ayu, emaknya mati gara-gara dia, dia anak pembawa sial
Kata-kata pedas itu terus didengungkan ke telingamu. Bukan hanya di lingkungan rumah tapi, juga di sekolah.
Tampaknya kerumitan hidup telah membentuk dirimu menjadi matang. Kehilangan orang yang selama ini dekat dengan kehidupanmu, diekspresikan oleh orang-orang di rumah dengan cara mereka masing-masing.
Langkah semangat bapak yang biasa kau sapa Pae, tak lagi terlihat. Wajah sendu karena kepergian istri kerap hadir.
Abangmu mulai menenggelamkan diri di antara tumpukan buku-buku pelajaran saat melampiaskan rasa sedihnya.
Kakakmu mulai terlihat murung sejak ibu tiada, padahal selama ibu masih hidup dia sering diomeli ibu –karena kerap tak menuruti ucapan orang tua- tapi, kini saudara perempuan tertuamu itu kangen akan omelan ibu.
Bullyan yang kau dapatkan di luar rumah tak pernah sekalipun kau ceritakan pada bapak dan kedua saudaramu, karena pikirmu, kepergian ibu –yang biasa kalian sapa dengan Mae- sudah meninggalkan kesedihan, jadi kau tak ingin menambah kesedihan lagi buat mereka.
Kau pendam rasa sakit karena cemoohan teman-teman sebayamu. Satu-satunya pelipur lara di hatimu adalah membuka kembali lembaran-lembaran juz amma peninggalan ibumu, dan terkadang kala rindu menyapa, kau selalu mengulang-ulang tembang tombo ati yang dulu akrab di telinga, karena ibumu membawakan tembang ini sebagai teman penghantar tidur ketiga anaknya.
Bapak yang setelah beberapa tahun meninggalnya ibu, akhirnya memutuskan menikah lagi. Beliau berpikir, anak-anaknya butuh sosok seorang ibu.
Ternyata, pilihan bapak bukan pilihan yang tepat, karena ibu sambung atau ibu tirimu hanya belagak baik di depan bapakmu.
Saat bapak keluar pergi bekerja, kelakuan asli ibu tiri kalian terlihat. Ketika itu abangmu sudah hijrah ke kota lain. Jadi tinggallah kau, kakakmu dan juga adikmu. Ibu sambung yang dipikir bapakmu adalah perempuan baik-baik ternyata memerlakukan kalian tak ubahnya seperti pembantu.
Tak tahan dengan perlakuan ibu tiri, akhirnya kau dan kakakmu hijrah ke Jakarta.
Tekad dan semangatmu yang kuat untuk bisa terus sekolah hingga perguruan tinggi, membuatmu melakoni pekerjaan apa saja asalkan halal.
Pernah jadi asisten rumah tangga, sales berbagai multi level marketing, pokoknya apa saja, asalkan halal dan kau bisa terus sekolah.
Kau ingin mengangkat harkat derajat keluargamu, apalagi kau teringat akan adik bungsumu di desa.
Sebagian penghasilan kau sisihkan untuk bapak dan adikmu. Jiwamu benar-benar matang dengan tempaan hidup yang keras.
Soal asmara, kau pernah ditolak oleh keluarga laki-laki karena pekerjaanmu sebagai asisten rumah tangga, mereka –calon bapak dan ibu mertua- tak memedulikan saat kau nyatakan kau adalah seorang mahasiswi di suatu perguruan tinggi swasta di Jakarta, dan untuk menutupi kebutuhanmu sehari-hari kau bekerja sebagai ART, juga mencari sampingan sebagai sales.
Mereka memandang rendah dirimu hanya karena kau sebutkan dirimu seorang pembantu.
Ketika akhirnya kau temukan seseorang yang bukan hanya dia yang bisa menerimamu tapi, juga keluarga besarnya.
Calon ayah dan ibu mertua juga saudara-saudara kandung calon suamimu, tak ambil pusing dengan statusmu. Mereka ramah menyambutmu tulus sebagai perempuan yang akan mendampingi anaknya.
Namun, rupanya itu tak cukup. Keraguan yang sempat hadir saat menjelang pernikahanmu, kelak menjadikan biduk rumah tanggamu karam.
Sifat laki-laki yang kau pilih sebagai suami ternyata senang berfoya-foya, malas bekerja. Baru beberapa hari bekerja, sudah resign karena bermasalah atau bertengkar dengan teman sekantornya.
Menganggur beberapa lama dan tak berusaha mencari pekerjaan, hanya bermain game saja saat di rumah. Dia hanya mengandalkan kau sebagai pencari nafkah.
Kau yang memang sudah ditempa mandiri sejak kecil, tetap bekerja sebagai sales.
Bukan hanya pemalas, suamimu ini juga genit alias ganjen. Acapkali setiap kali kalian berjalan berdua keluar, bila berpapasan dengan perempuan cantik, dia pasti tak segan melontarkan pujian untuk perempuan itu di depanmu.
Pernikahanmu kian diujung tanduk, saat kau menderita sakit usus buntu dan harus dioperasi, dan suamimu sedikit pun tak memedulikan kesehatanmu.
Malah kian tenggelam dengan game onlinenya. Setiap kali ada keributan kecil dan sepele, selalu kata cerai dan pisah diucapkan suamimu.
Kebiasaan suami yang senang bergame online dan lebih sering di rumah dan dirimu sebagai pencari nafkah, kian memberatkan langkahmu.
Pengalamanmu sebagai sales, juga berbisnis online mulai dari produk kecantikan, perabot rumah tangga, membuatmu bisa menabung dan mulai mencicil membeli rumah dan mobil.
Hingga akhirnya tabunganmu cukup, kau membuka kantor. Suamimu yang pengangguran mengusulkan kau merekrut teman-teman dugemnya sebagai karyawan.
Sebagai bentuk pengabdianmu sebagai suami, kau mengiyakan usul suamimu.
Namun, suatu kali, teman suamimu, seorang cewek mengenakan pakaian seksi, yang tak sepantasnya dikenakan di kantor.
Kau hanya menasihati perempuan itu, tak berkata kasar, tapi rupanya teguran lembutmu memancing amarah suamimu.
Memuji perempuan lain dan marah besar padamu lalu keluar kata cerai dari laki-laki egois itu, rupanya jadi pemutus ikatan suci ini.
***
“Nduk, jangan menuntut hal yang berlebihan dari siapa pun, Kalau sanggup jalankan sendiri, kalau ndak sanggup ya sudah pasrah. Gusti Allah tahu mana yang pantas dan ndak pantas buat hamba-Nya.”
Terngiang petuah bapak saat menasihatimu di awal pernikahan. Kini kau benar-benar tak sanggup melanjutkan biduk rumah tangga bersama laki-laki yang bibirnya terasa enteng melafalkan cerai.
Kesendirian tak lantas menjadikan kau tumbang. Dari kecil kau sudah merasakan getirnya hidup saat Ibu terkasih pergi buat selamanya.
Kau mulai membenahi diri, bangkit lagi memajukan bisnis produk kecantikan baik yang bermerk atau yang tak bermerk.
Sejak gadis kau sudah merekrut beberapa orang menjadi reseller produk kecantikan.
Lagi teringat di benakmu petuah bijak ibu, “Jadilah manusia yang bermanfaat sebab itu yang membuat kita bertemu banyak kebaikan."
Tak kau biarkan dirimu terombang-ambing dengan masalah pribadi yang menerpa, tapi, kau terus fokus dengan bisnis produk kecantikan, yang lama kau geluti.
Kini, kau bisa mereguk hasil kerja kerasmu dengan brand produk kecantikan wajah bernama B ERL COSMETICS yang Alhamdulillah best seller semua.
Segala puji bagi Allah, kau dianugerahi seorang suami yang baik, pengertian, lembut dan bertanggung jawab di pernikahan keduamu.
Kini bisnis B ERL COSMETICS mulai dikenal masyarakat. Hidup bahagia dengan pasangan dan keberlimpahan finansial yang kini kau dapat adalah buah dari sabar dan gigihmu menapaki hidup.
Medan, 15 Juli 2025
Komentar
Posting Komentar